"Aku udah senyum dan salam, tapi dia kok cuek, ya?"

"Kok, dia jadi agak menjauh dariku, ya...?

Mungkin kita pernah dirundung perasaan seperti itu, gara-gara mendapati sikap teman berubah terhadap kita. Muncul tanda tanya yang kadang sampai membuat gelisah.

Solusinya sebenarnya sederhana. Kita tinggal bertanya. Misal, "Jeng, belakangan ini aku merasa dikau mengambil jarak dariku. Apakah hanya perasaanku saja? Kalau ada sesuatu dari diriku yang mengganggumu, tolong kasih tahu ya. Biar aku bisa perbaiki." Atau perkataan semisal itu sesuai kondisi yang kita hadapi.

Jika enggan bertanya, maka pilihannya adalah berbaik sangka. Misal, kita katakan pada diri sendiri, "Dia mungkin sedang punya masalah. Dia pingin sendiri. Ntar kalau situasinya tepat, aku coba ajak bicara."

Baik sangka membuat psikologis kita bebas, tidak terjerat mental block. Membuat kita lebih ringan hati untuk membuka percakapan dengan orang lain. Beda dengan buruk sangka. Jika hati sudah dipenuhi pikiran, "Jangan-jangan, dia gak suka padaku" dan kalimat semisalnya, itu akan membuat psikologis kita otomatis membangun sekat untuk melindungi diri. Sebab, insting kita akan menuntun untuk mencari rasa aman dan nyaman. Akhirnya, kita pun terdorong mengambil jarak dari orang yang membuat kita punya prasangka buruk padanya..

Baik sangka dan buruk sangka sama-sama pilihan sikap. Bedanya, yang pertama membuat psikologis kita merdeka dan positif. Sedangkan yang kedua membuat psikologis kita terikat oleh beban tanda tanya yang rawan membuat gelisah.

Kita tidak bisa mengatur perasaan orang lain terhadap kita. Tapi, kita bisa mengatur perasaan dan menjaga mental kita dengan berbaik sangka dan berlapang dada. Berbaik sangka dan berlapang dada bukan hanya berpahala, tapi--dengan izin Allah--juga membuat mental kita lebih sehat dan bahagia.